Sabtu, 02 Maret 2013

Guru Ir.Sukarno

Cokroaminoto, Guru Segala Guru
bagi Bung Karno
Adalah jalan sejarah jika Sukarno
kecil dititipkan di keluarga Haji
Oemar Said (H.O.S.) Cokroaminoto
di Gang Peneleh, Surabaya. Adalah
suratan takdir jika kemudian
Sukarno menjadi salah satu murid
kesayangan Cokroaminoto. Adalah
sebuah keniscayaan jika kemudian
Sukarno menjadi tokoh
nasionalisme penting negeri ini.
Dalam banyak literatur, Bung Karno
selalu menyebut nama
Cokroaminoto sebagai guru
sekaligus pujaannya di kala muda.
Bung Karno tidak pernah
menafikan peran Cokroaminoto
yang menggembleng Sukarno
muda dengan sekeras-kerasnya.
Bung Karno sering membuntuti
Cokro yang ketika itu berusia 30-
an tahun, berkeliling dari satu
daerah ke daerah lain, menjadi
guru ngaji, tetapi juga
menyelipkan pesan-pesan
perjuangan, tebaran-tebaran
semangat untuk merdeka, lepas
dari penindasan bangsa Belanda.
Sukarno muda, dalam pergolakan
jiwa remaja dengan nuansa cinta
monyet, dalam iklim “gaul” ABG
pada zamannya… sama sekali tidak
mendapatkan itu secara sebebas-
bebasnya. Di rumah, Cokro
mendidiknya dengan keras.
Hampir setiap hari, sepanjang
malam, dan di kala senggang,
Bung Karno duduk di dekat kaki
Cokro, dan dialirkannya buku-buku
ke pangkuan Sukarno. Ya… Cokro
bukan figur pengganti ayah yang
siap menerima keluh-kesah. Bukan
figur ayah yang siap menerima
pengaduan anaknya. Bukan pula
figur ayah yang menghiburnya di
kala sedih. Tapi itu pula yang
menjadikan Sukarno akrab dengan
literatur… dan banyak literatur
lainnya di kemudian hari.
Begitulah, akhirnya Bung Karno
tenggelam dalam lautan bacaan.
Sejak usia 15-an tahun, manakala
teman-teman sebaya asyik
bermain di taman lapang, Sukarno
justru sedang belajar. Sementara
teman-temannya asyik bersantai,
Sukarno justru sedang melalap
buku demi buku. Mulailah Sukarno
menemukan “teman-teman” lain
dari buku-buku yang dibacanya.
“Teman-teman” itu bukan
sembarang teman, melainkan
tokoh-tokoh besar dunia.
Melalui adi pustaka itu pula, jadilah
Sukarno merasa berbicara dengan
Thomas Jefferson. Ia seperti
mendapat penuturan langsung
dari Jefferson mengenai
Declaration of Independence yang
ditulisnya tahun 1776. Dengan
Jefferson pula ia
memperbincangkan George
Washington. Tak terkecuali,
Sukarno pun “bersahabat” dengan
Paul Revere. Kemudian Bung Karno
mencari-cari kesalahan Abraham
Lincoln untuk kemudian dicarikan
tanggapannya dari Jefferson.
Begitulah Bung Karno tanpa sadar
berlayar mengarungi lautan
pustaka, membuat kajian-kajian…
membuat perbandingan-
perbandingan…. Esensi di dalam
buku-buku tadi, kemudian
meresap begitu dalam menjadi
sebuah penghayatan dan
pengetahuan seorang Sukarno.
Maka, sangat aneh kalau ada
tudingan yang mengatakan Bung
Karno tidak suka Amerika. Dalam
penuturannya kepada Cindy Adams
di biografi Bung Karno
Penyambung Lidah Rakyat
Indonesia, jelas sekali bahwa
semasa muda, Sukarno memuja
pahlawan-pahlawan Amerika.
Bahkan, Sukarno mencintai rakyat
Amerika. Sukarno juga membaca
majalah-majalah populer Amerika
hingga menjelang akhir hayatnya.
Ada yang kurang dipahami
sebagian orang yang menuding
Sukarno anti Amerika. Adalah
kenyataan bahwa Sukarno juga
belajar dan mengkaji secara
mendalam Gladstone dari Inggris,
juga Sidney dan Beatrice Webb
yang mendirikan Gerakan Buruh
Inggris. Bukan hanya itu, Sukarno
juga mempelajari Mazzini, Cavour,
dan Garibaldi dari Italia. Tidak
berhenti sampai di situ, Sukarno
juga melahap habis kajian tentang
Karl Marx, Friedrich Engels dan
Lenin dari Rusia.
Sebatas itukah pengetahuan
Sukarno tentang tokoh-tokoh
dunia? Tidak! Sukarno
juga”ngobrol” dengan Jean
Jacques Rousseau, Aristide Briand
dan Jean Jaures ahli pidato
terbesar dalam sejarah Perancis.
Kesemua perjalanan tokoh besar
tadi, menginspirasi Sukarno pada
masa-masa selanjutnya. Di
samping, pelajaran-pelajaran yang
ia timba semasa sekolah.
Karenanya, ia juga paham sejarah
Yunani kuno. Ia menyerap
sedalam-dalamnya protes atas
segala bentuk penindasan.
“Persetan dengan penindasan!!!”
pekiknya setiap berpidato tanpa
pendengar di kamarnya yang
gelap. “Hidup Kemerdekaan!!!”
teriak Bung Karno keras-keras di
dalam kesendiriannya, di kamar
tanpa jendela, di kediaman
Cokroaminoto.
Baiklah…. berikut ini adalah secuil
kisah tentang Cokroaminoto, salah
satu tokoh besar Indonesia.
Haji Omar Said Cokroaminoto lahir
di Ponorogo 6 Agustus 1882, dan
meninggal dunia pada 17
Desember 1934, dan dimakamkan
di TMP Pekuncen, Yogyakarta. Dia
dikenal sebagai Ketua Partai Politik
Sarekat Islam. Cokro lahir di
Ponorogo, Jawa Timur, anak kedua
dari 12 orang bersaudara.
Ayahnya, R. M. Cokroamiseno,
seorang pegawai pemerintahan,
pamannya, R. M. Cokronegoro,
pernah menjabat Bupati Ponorogo.
Sebagai salah satu pelopor
pergerakan nasional,
Cokroaminoto mempunyai tiga
orang pengikut yang kemudian
mewarnai politik Indonesia.
Mereka adalah Sukarno (ahli
nasionalisme), Semaoen (ahli
sosialisme), dan Kartosuwiryo (ahli
agama). Di kemudian hari,
ketiganya saling berseberangan.
Semaoen dengan Alimin dan Muso
terlibat pemberontakan PKI di
Madiun 1947. Sedangkan
Kartosuwiryo dikenal sebagai
dedengkot Darul Islam (DI)/TII dan
memproklamasikan Negara Islam
Indonesia pada 7 Agustus 1948.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar