Sabtu, 02 Maret 2013

Sejarah Pembuatan Lambang Negara Indonesia

Siapa tak kenal burung Garuda
berkalung perisai yang
merangkum lima sila (Pancasila).
Tapi orang Indonesia mana
sajakah yang tahu, siapa pembuat
lambang negara itu dulu? Dia
adalah Sultan Hamid II, yang
terlahir dengan nama Syarif Abdul
Hamid Alkadrie, putra sulung
Sultan Pontianak; Sultan Syarif
Muhammad Alkadrie. Lahir di
Pontianak tanggal 12 Juli 1913.
Dalam tubuhnya mengalir darah
Indonesia, Arab –walau pernah
diurus ibu asuh berkebangsaan
Inggris. Istri beliau seorang
perempuan Belanda yang
kemudian melahirkan dua anak –
keduanya sekarang di Negeri
Belanda.
Syarif Abdul Hamid Alkadrie
menempuh pendidikan ELS di
Sukabumi, Pontianak, Yogyakarta,
dan Bandung. HBS di Bandung satu
tahun, THS Bandung tidak tamat,
kemudian KMA di Breda, Negeri
Belanda hingga tamat dan meraih
pangkat letnan pada kesatuan
tentara Hindia Belanda.
Ketika Jepang mengalahkan
Belanda dan sekutunya, pada 10
Maret 1942, ia tertawan dan
dibebaskan ketika Jepang
menyerah kepada Sekutu dan
mendapat kenaikan pangkat
menjadi kolonel. Ketika ayahnya
mangkat akibat agresi Jepang,
pada 29 Oktober 1945 dia
diangkat menjadi Sultan Pontianak
menggantikan ayahnya dengan
gelar Sultan Hamid II. Dalam
perjuangan federalisme, Sultan
Hamid II memperoleh jabatan
penting sebagai wakil Daerah
Istimewa Kalimantan Barat (DIKB)
berdasarkan konstitusi RIS 1949
dan selalu turut dalam
perundingan-perundingan Malino,
Denpasar, BFO, BFC, IJC dan KMB di
Indonesia dan Belanda.
Sultan Hamid II kemudian
memperoleh jabatan Ajudant in
Buitenfgewone Dienst bij HN
Koningin der Nederlanden, yakni
sebuah pangkat tertinggi sebagai
asisten ratu Kerajaan Belanda dan
orang Indonesia pertama yang
memperoleh pangkat tertinggi
dalam kemiliteran. Pada 21-22
Desember 1949, beberapa hari
setelah diangkat menjadi Menteri
Negara Zonder Porto Folio,
Westerling yang telah melakukan
makar di Tanah Air menawarkan
“over commando” kepadanya,
namun dia menolak tegas. Karena
tahu Westerling adalah gembong
APRA. Selanjutnya dia berangkat ke
Negeri Belanda, dan pada 2 Januari
1950, sepulangnya dari Negeri
Kincir itu dia merasa kecewa atas
pengiriman pasukan TNI ke Kalbar
– karena tidak mengikutsertakan
anak buahnya dari KNIL.
Pada saat yang hampir bersamaan,
terjadi peristiwa yang
menggegerkan; Westerling
menyerbu Bandung pada 23
Januari 1950. Sultan Hamid II tidak
setuju dengan tindakan anak
buahnya itu, Westerling sempat di
marah. Sewaktu Republik
Indonesia Serikat dibentuk, dia
diangkat menjadi Menteri Negara
Zonder Porto Folio dan selama
jabatan menteri negara itu
ditugaskan Presiden Soekarno
merencanakan, merancang dan
merumuskan gambar lambang
negara. Dari transkrip rekaman
dialog Sultan Hamid II dengan
Masagung (1974) sewaktu
penyerahan file dokumen proses
perancangan lambang negara,
disebutkan “ide perisai Pancasila”
muncul saat Sultan Hamid II
sedang merancang lambang
negara.
Dia teringat ucapan Presiden
Soekarno, bahwa hendaknya
lambang negara mencerminkan
pandangan hidup bangsa, dasar
negara Indonesia, di mana sila-sila
dari dasar negara, yaitu Pancasila
divisualisasikan dalam lambang
negara. Tanggal 10 Januari 1950
dibentuk Panitia Teknis dengan
nama Panitia Lencana Negara di
bawah koordinator Menteri
Negara Zonder Porto Folio Sultan
Hamid II dengan susunan panitia
teknis M Yamin sebagai ketua, Ki
Hajar Dewantoro, M A Pellaupessy,
Moh Natsir, dan RM Ng
Purbatjaraka sebagai anggota.
Panitia ini bertugas menyeleksi
usulan rancangan lambang negara
untuk dipilih dan diajukan kepada
pemerintah. Merujuk keterangan
Bung Hatta dalam buku “Bung
Hatta Menjawab” untuk
melaksanakan Keputusan Sidang
Kabinet tersebut Menteri Priyono
melaksanakan sayembara. Terpilih
dua rancangan lambang negara
terbaik, yaitu karya Sultan Hamid II
dan karya M Yamin. Pada proses
selanjutnya yang diterima
pemerintah dan DPR RIS adalah
rancangan Sultan Hamid II. Karya M
Yamin ditolak karena menyertakan
sinar-sinar matahari dan
menampakkan pengaruh Jepang.
Setelah rancangan terpilih, dialog
intensif antara perancang (Sultan
Hamid II), Presiden RIS Soekarno
dan Perdana Menteri Mohammad
Hatta, terus dilakukan untuk
keperluan penyempurnaan
rancangan itu. Terjadi kesepakatan
mereka bertiga, mengganti pita
yang dicengkeram Garuda, yang
semula adalah pita merah putih
menjadi pita putih dengan
menambahkan semboyan
“Bhineka Tunggal Ika”. Tanggal 8
Februari 1950, rancangan final
lambang negara yang dibuat
Menteri Negara RIS, Sultan Hamid II
diajukan kepada Presiden
Soekarno. Rancangan final
lambang negara tersebut
mendapat masukan dari Partai
Masyumi untuk dipertimbangkan,
karena adanya keberatan terhadap
gambar burung garuda dengan
tangan dan bahu manusia yang
memegang perisai dan dianggap
bersifat mitologis.
Sultan Hamid II kembali
mengajukan rancangan gambar
lambang negara yang telah
disempurnakan berdasarkan
aspirasi yang berkembang,
sehingga tercipta bentuk Rajawali-
Garuda Pancasila. Disingkat Garuda
Pancasila. Presiden Soekarno
kemudian menyerahkan
rancangan tersebut kepada
Kabinet RIS melalui Moh Hatta
sebagai perdana menteri. AG
Pringgodigdo dalam bukunya
“Sekitar Pancasila” terbitan Dep
Hankam, Pusat Sejarah ABRI
menyebutkan, rancangan lambang
negara karya Sultan Hamid II
akhirnya diresmikan
pemakaiannya dalam Sidang
Kabinet RIS. Ketika itu gambar
bentuk kepala Rajawali Garuda
Pancasila masih “gundul” dan
“tidak berjambul” seperti bentuk
sekarang ini. Inilah karya
kebangsaan anak-anak negeri
yang diramu dari berbagai aspirasi
dan kemudian dirancang oleh
seorang anak bangsa, Sultan
Hamid II Menteri Negara RIS.
Presiden Soekarno kemudian
memperkenalkan untuk pertama
kalinya lambang negara itu kepada
khalayak umum di Hotel Des Indes
Jakarta pada 15 Februari 1950.
Penyempurnaan kembali lambang
negara itu terus diupayakan.
Kepala burung Rajawali Garuda
Pancasila yang “gundul” menjadi
“berjambul” dilakukan. Bentuk
cakar kaki yang mencengkram pita
dari semula menghadap ke
belakang menjadi menghadap ke
depan juga diperbaiki, atas
masukan Presiden Soekarno.
Tanggal 20 Maret 1950, bentuk
final gambar lambang negara yang
telah diperbaiki mendapat
disposisi Presiden Soekarno, yang
kemudian memerintahkan pelukis
istana, Dullah, untuk melukis
kembali rancangan tersebut sesuai
bentuk final rancangan Menteri
Negara RIS Sultan Hamid II yang
dipergunakan secara resmi sampai
saat ini.
Untuk terakhir kalinya, Sultan
Hamid II menyelesaikan
penyempurnaan bentuk final
gambar lambang negara, yaitu
dengan menambah skala ukuran
dan tata warna gambar lambang
negara di mana lukisan otentiknya
diserahkan kepada H Masagung,
Yayasan Idayu Jakarta pada 18 Juli
1974 Rancangan terakhir inilah
yang menjadi lampiran resmi PP
No 66 Tahun 1951 berdasarkan
pasal 2 Jo Pasal 6 PP No 66 Tahun
1951. Sedangkan Lambang Negara
yang ada disposisi Presiden
Soekarno dan foto gambar
lambang negara yang diserahkan
ke Presiden Soekarno pada awal
Februari 1950 masih tetap
disimpan oleh Kraton Kadriyah
Pontianak. Sultan Hamid II wafat
pada 30 Maret 1978 di Jakarta dan
dimakamkan di pemakaman
Keluarga Kesultanan Pontianak di
Batulayang.
Turiman SH M.Hum, Dosen Fakultas
Hukum Universitas Tanjungpura
Pontianak yang mengangkat
sejarah hukum lambang negara RI
sebagai tesis demi meraih gelar
Magister Hukum di Universitas
Indonesia, menjelaskan bahwa
hasil penelitiannya tersebut bisa
membuktikan bahwa Sultan Hamid
II adalah perancang lambang
negara. “Satu tahun yang
melelahkan untuk mengumpulkan
semua data. Dari tahun
1998-1999,” akunya. Yayasan
Idayu Jakarta, Yayasan Masagung
Jakarta, Badan Arsip Nasional,
Pusat Sejarah ABRI dan tidak
ketinggalan Keluarga Istana
Kadariah Pontianak, merupakan
tempat-tempat yang paling sering
disinggahinya untuk
mengumpulkan bahan penulisan
tesis yang diberi judul Sejarah
Hukum Lambang Negara RI (Suatu
Analisis Yuridis Normatif Tentang
Pengaturan Lambang Negara
dalam Peraturan Perundang-
undangan). Di hadapan dewan
penguji, Prof Dr M Dimyati Hartono
SH dan Prof Dr H Azhary SH dia
berhasil mempertahankan tesisnya
itu pada hari Rabu 11 Agustus
1999. “Secara hukum, saya bisa
membuktikan. Mulai dari sketsa
awal hingga sketsa akhir. Garuda
Pancasila adalah rancangan Sultan
Hamid II,” katanya pasti. Besar
harapan masyarakat Kal-Bar dan
bangsa Indonesia kepada Presiden
RI SBY untuk memperjuangkan
karya anak bangsa tersebut, demi
pengakuan sejarah, sebagaimana
janji beliau ketika berkunjung ke
Kal-Bar dihadapan tokoh
masyarakat, pemerintah daerah
dan anggota DPRD Provinsi Kal-Bar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar