Sabtu, 02 Maret 2013

Ir.Sukarno : Demokratis atau Diktator

1.TIDAK
Sejak proklamasi kemerdekaan
1945, selama limabelas tahun
Soekarno praktis cuma Presiden
simbolis. Sampai 1959
pemerintahan ganti-berganti
berada di tangan orang-orang
sealiran dengan Hatta-Syahrir atau
para soekarnois yang harus
berkompromi dengan partai
Masyumi dan PSI. Soekarno baru
bisa dikatakan "berkuasa" hanya
enam tahun terakhir sejak
diumumkan "Demokrasi
Terpimpin" bulan Juli 1959. Itu pun
cuma kekuasaan formal karena
paralel di samping kekuasaan
Soekarno, dari pusat sampai ke
daerah berjalan kekuasaan
Angaktan Darat yang masif, rëel
dan efektif dengan senjata di
tangan. Militerlah yang
menjalankan kekuasaan dengan
menggonceng pada wibawa
Soekarno, termasuk melancarkan
penangkapan-pen angkapan
politik dengan legalites SOB.
Mereka melakukan berbagai
pengekangan kebebasan politik
semua atas nama Soekarno.
Selanjutnya mereka melancarkan
berbagai manuver politik seperti
misalnya memanfaatkan (kalau
tidak mau disebut menciptakan)
Manikebu, BPS (Badan Pendukung
Soekarnoisme), dan menunggangi
konsep Soekarno tentang
"golongan fungsional".
Kelompok militer Angkatan Darat
yang merongrong Soekarno itu
jugalah kemudian berkuasa leluasa
dijaman "Orde Baru" tanpa ada
penghalang apa-apa lagi. Angkatan
Darat telah berhasil menunaikan
"tugas internasionalny a"
menegakkan paradigma McCarthy
di Indonesia dengan tuntas dan
gemilang, menghancurkan PKI dan
menggésér Soekarno dari pentas
sejarah. Sejak 17 Oktober 1952
sampai 1965 Angkatan Darat
bermain di bawah-bawah,
menyusup dan menyatu dengan
kekuatanprogres if-revolusioner ,
di era Orde Baru watak asli
sesungguhnya kekuasaan militer
barulah muncul telanjang bulat di
permukaan dengan mitra sipilnya
Golongan Karya.
Lagipula Soekarno tidak punya
bakat sama sekali untuk jadi
diktator. Untuk itu
dia harus tidak punya hati nurani,
harus tega mampu membunuh
dan memenjarakan rakyatnya
sendiri sebagaimana
didemonstrasika n oleh jendral
Soeharto selama tigapuluh tahun
kekuasaannya. Tetapi Soeharto
itulah yang oleh Dunia Barat
dianggap telah berhasil
"mengkoreksi total otoriterisme
Soekarno" kembali ke "jalan
benar", kejalan demokrasi yang
dainggap benar oleh Barat.
Soekarno sebagai pemimpin yang
paling mengerti rakyatnya, secara
sadar menolak mendjiplak mentah-
mentah demokrasi Barat walaupun
otaknya penuh berisi ide-ide
sosial-demokras i, Aufklärung dan
berbagai konsep sosial revolusi
Perancis, revolusi Amerika sampai
pada perjuangan Willem van
Oranje melawan Spanyol. Dia
sepenuhnya diilhami konsep-
konsep Barat, tetapi dia berdiri
kukuh dengan kedua kakinya di
bumi tanah-airnya. Dari
pengalaman langsung yang dia
rasakan pada badannya sendiri,
dia tahu betul bahwa menuntut
reform sosial, membela rakyat
tertindas dalam sistem demokrasi
Barat, pada ujung-ujungnya selalu
rakyat akan berada di pihak yang
kalah. Maka dia kembangkan ide
yang berasal dari Ki Hadjar
Dewantoro "democratie met
leiderschap" (demokrasi
terpimpin), dan kita semua tahu
bahwa Demokrasi Terpimpin
Soekarno dalam masa balita-nya
sudah dibantai berdarah pada
tahun 1965.
Demokrasi Terpimpin tidak pernah
mendapatkan kesempatan untuk
membuktikan bahwa gagasan itu
bermanfaat dan diperlukan bagi
rakyat yang ingin memperbaiki
nasibnya sendiri. Di dunia Barat,
demokrasi berkesempatan diuji
(disosialisasi) seabad lebih
sebelum dia sampai menjadi
sistem mapan yang kita kenal
sekarang ini. Soekarno dengan
eksperimen demokrasinya yang
cuma sempat berjalan lima tahun
2. YA
Kediktatoran Sukarno juga mulai
terlihat sejak konsep Marhaenisme
berusaha diwujudkannya menjadi
ideologi partai. Syahrir dan Hatta
yang emperkenalkan kehidupan
demokratis didalam Partindo
(Partai Indonesia) pelan-pelan
dipinggirkan dan kehidupan partai
mulai diarahkan pada disiplin ketat
dan tunduk pada pucuk pimpinan.
Untuk menempuh ini Sukarno
tidak menggunakan cara yang
ditempuh oleh Lenin yang pernah
menjelaskan secara logis kepada
kelompok Mesheviks ketika Lenin
menjadi diktator. Jalan yang
ditempuh Sukarno hanyalah sibuk
dengan penjelasan-penj elasan
pentingnya keberadaan partai
pelopor yang memiliki massa
besar.
Bagi Sukarno, menegakkan
ideologi Marhaenisme lebih
penting ketimbang membangun
kehidupan demokratis. Sembari
mengutip Karl Liebknecht, ideolog
komunis Jerman, Sukarno
menegaskan bahwa massa harus
dibuat radikal dan jangan beri
kesempatan untuk pasif
menghadapi revolusi. Meski kelak
sesudah kemerdekaan tercapai,
penganut Marhaenisme cenderung
bergabung dengan partai Murba,
namun Marhaenisme ini lebih
menyepakati tafsiran Tan Malaka
tentang Marhaenisme.
ukarno yang sudah dihinggapi
sifat anti-demokrasi jelas tidak bisa
menerima sepenuh hati
perjuangan menegakkan
demokrasi. Praktek demokrasi
parlementer diawal kemerdekaan
yang dipenuhi aspirasi masyarakat
dihapuskannya begitu saja dengan
tudingan telah menjiplak
demokrasi borjuis. Akibatnya,
kekecewaan terhadap Sukarno
memuncak menjadi
pemberontakan. Apalagi sikap
kekiri-kirianny a yang kental telah
menjadikan Sukarno hendak
membangun aliansi internasional
dengan negara-negara komunis
(Cina dan Uni Sovyet). Sesudah
kunjungannya ke Cina ditahun
1956, Sukarno tampak sangat
mengagumi Mao Tse Tung, dan
terutama Chou En Lai. Sedangkan
hubungannya dengan Hatta makin
menjauh. Dalam sebuah
kesempatan bertemu dengan
dubes AS Hugh S. Cumming 27
Februari 1957, Hatta menceritakan
kekurang-pahama n Sukarno
dalam mencermati perkembangan
demokrasi parlementer.
Sukarno yang awalnya sangat
akrab dengan Mohammad Natsir,
tokoh Masyumi, mendadak
berubah sesudah terjadi
perbedaan pandangan politik.
Sukarno membangun opini politis
yang menyebutkan bahwa
gagasan mendirikan "negara"
Islam jauh lebih berbahaya
daripada sebuah rezim komunis.
Opini bertambah kencang
dihembuskan saat dikait-kaitkan
dengan kelompok DI/TII pimpinan
Kartosuwiryo. Tanpa ada upaya
untuk memahami latar-belakang
terjadinya pemberontakan
tersebut, yang sebenarnya
merupakan reaksi atas perjanjian
Renville Januari 1948. Dimana
perjanjian itu telah
memperbolehkan tentara Belanda
kembali masuk kedalam wilayah
Jawa Barat.
Begitupula dengan
pemberontakan Kahar Muzakkar di
Sulawesi Selatan dan Tengku Daud
Beureu'eh di Banda Aceh, yang
sesungguhnya merupakan reaksi
atas sikap-sikap arogan dan anti-
demokrasi dari Sukarno. Namun,
kelihaian berpolitik kelompok
Sukarno justru membalik fakta dan
menciptakan citra buruk atas
pemberontakan diatas.
Poros Jakarta-Pyongya ng-Peking
yang dibangun saat Sukarno
sangat akrab dengan PKI telah
menjadikan posisi Indonesia
makin terpencil dari dunia
internasional. Sembari menindas
kekuatan demokrasi, Sukarno
memprakarsai demokrasi
terpimpin (1959-1965) yang
sangat jelas merupakan
kediktatoran. Untuk
mengabadikan kekuasaannya,
Sukarno banyak memproduksi
simbol-simbol Jawa agar bisa
diterima oleh masyarakat
Indonesia, khususnya Jawa.
Sedangkan hubungan Indonesia
dengan negara-negara tetangga
juga mengalami kemunduran
dengan dicetuskannya "ganyang
Malaysia".
Sukarno mengalihkan perhatian
masyarakat dari masalah dalam
negeri dengan mencari musuh di
luar-negeri. Berbagai slogan dan
propaganda politik diproduksi
hanya semata untuk memenuhi
hajat Sukarno berkuasa. Mobilisasi
massa dikerahkan untuk dikirim
sebagai sukarelawan/
sukarelawati menghadapi satuan-
satuan tempur elit Inggris (SAS) di
Kalimantan Utara. Bahkan untuk
memobilisasi sukarelawati
menggayang Malaysia, Sukarno
perlu mengeluarkan Kepres tahun
1964 yang menjadikan Kartini
sebagai sosok wanita pejuang
Indonesia. Ribuan nyawa
melayang hanya untuk menjadi
korban ambisi politik Sukarno.
Bahan-bahan indoktrinasi dari
Sukarno telah melahirkan sebuah
ajaran baru selain Marhaenisme.
Yaitu Sukarnoisme, yang
merupakan ajaran bersumber dari
pemikiran-pemik iran Sukarno.
Sukarnoisme banyak diminati oleh
mereka yang terpesona pada
kharisma Bung Karno (BK), selain
juga ada yang mempelajarinya
diluar konteks keterpesonaan
tersebut. Bung Karno sendiri
memang sosok besar dalam
sejarah perjalanan bangsa
Indonesia, sehingga wajar jika dia
ditempatkan dalam sejarah
sebagai proklamator dan sering
dipuja. Tapi, kelompok Soekarnois
telah sangat mengkultuskan sosok
Soekarno hingga sangat tidak
wajar sehingga cenderung kurang
obyektif. Ajaran Soekarno
disebarkan sembari memberangus
prosedur demokrasi.
Di antara ajaran Sukarno yang
menyangkut masalah sosial-politik
dan sosio-ekonomi yang nampak
sangat kuat berada didalam
Manipol USDEK (Manifesto Politik
Undang-Undang Dasar '45,
Sosialisme Indonesia, Demokrasi
Terpimpin, Ekonomi Terpimpin dan
Kepribadian Indonesia), yang pada
dekade '60-an menjadi bahan
indoktrinasi pada masyarakat.
Arahan-arahan yang dikandung
dalam Sukarnoisme lalu
dikembangkan sedemikian rupa
oleh orang-orang dekat BK, demi
kepentingan tertentu. Sehingga
rakyat dihipnotis mengikuti apa
yang diutarakan oleh Sukarno.
Berbagai mitos-mitos bersifat
politis diciptakan pula demi tetap
mengabadikan kekuasaannya. Baik
langsung maupun tidak langsung,
banyak orang-orang yang kagum
pada Sukarno lalu mendewa-
dewakan nya.
Kehadiran Sukarno diidentikkan
dengan kehadiran Ratu Adil yang
berjanji akan membawa rakyat
Indonesia ke pintu gerbang
kemakmuran dan kesejahteraan.
Mitos lain menyebutkan adanya
hubungan Sukarno kepada para
leluhur masa lalu yang juga telah
memegang kekuasaan. Semuanya
itu bertujuan untuk tetap
mengabadikan Sukarno sebagai
lambang kekuasaan tunggal di
Indonesia. Pemitosan Sukarno jelas
kemudian sangat menguntungkan
para politisi di sekitarnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar