Sabtu, 02 Maret 2013

Pidato Pertama Ir.Sukarno

Sukarno muda, sangat gemar
mengikuti Hadji Oemar Said (HOS)
Tjokroaminoto, tokoh Sarekat
Islam dalam berbagai aktivitas.
Cara dan gaya orasi Tjokro pula
yang mengilhaminya menjadi
orator ulung. Di kemudian hari kita
tahu, Sukarno menjelma menjadi
orator ulung. Manakala ia
berpidato, lautan manusia tersirep,
redam, hening, khidmat.
Kepiawaian Sukarno berpidato,
bukan “ujung-ujug”, bukan
sesuatu yang tiba-tiba. Ia
melatihnya di kegelapan kamar
tanpa aliran listrik. Di pengapnya
ruang kamar tanpa jendela. Di
tengah malam buta, ia biasa
berpidato dengan suara lantang,
berirama, menghendak,
menghanyutkan. Ia bisa menjadi
seorang tokoh Yunani yang
berunjuk rasa. Ia bisa menjadi
siapa saja, dan menyuarakan apa
saja.
Itu dilakukan di kamar pondokan
Tjokroaminoto di Gang Peneleh 7,
Surabaya. Teman-teman penghuni
kamar-kamar yang lain, tahu betul
situasi itu. Mulanya mereka
menghardik, menyuruh diam
karena mengganggu ketengan
malam. Akan tetapi, lama kelamaan,
mereka hanya saling pandang dan
berkata datar, “Biasa…. si No mau
menyelamatkan dunia….” Adalah
biasa, nama Karno dipanggil
pendek, “No”.
Tahukan Anda, kapan untuk
pertama kali Sukarno berpidato?
Mungkin tidak penting, tapi
sungguh patut dicatat untuk
seorang tokoh bangsa,
proklamator negeri ini.
Dalam buku Bung Karno
Penyambung Lidah Rakyat
Indonesia, Sukarno menyebut
pidato di Studieclub HBS-lah
sebagai pidato pertamanya. Ketika
itu, ia berusaia 16 tahun.
Studieclub adalah pengajaran
tambahan di HBS, yang bertujuan
untuk membahas buah-buah
pikiran dan cita-cita. Pembicara
pertama, tentulah Ketua Studieclub.
Ia membuka statemennya dengan
mengatakan, “Adalah menjadi
suatu keharusan bagi generasi
kitauntuk menguasai betul bahasa
Belanda….”
Setiap orang setuju. Setiap orang…
kecuali Sukarno! Ia –entah dirasuki
apa– tiba-tiba meloncat ke atas
meja dan berkata keras, “Tidak.
Saya tidak setuju!” Tentulah semua
peserta Studieclub terbelalak,
terbengong-beng ong, terheran-
heran. Selanjutnya… bergulir
pidato Sukarno. Pidato yang
pertama yang dilakukannya di
muka banyak orang, tidak hanya di
sendiri di dalam kamar, di hadapan
“tidak seorang pun” kecuali
tembok dan kegelapan malam.
“Tanah kebanggaan kita ini dulu
pernah bernama Nusantara. Nusa
berarti pulau. Antara berarti di
antara. Nusantara berarti ribuan
pulau-pulau, dan banyak di antara
pulau-pulau ini yang lebih besar
daripada seluruh negeri Belanda.
Jumlah penduduk negeri Belanda
hanya segelintir jika dibandingkan
dengan penduduk kita. Bahasa
Belanda hanya dipergunakan oleh
enam juta manusia,” Bung Karno
berorasi.
Lanjutnya, “Mengapa suatu negeri
kecil yang terletak di sebelah sana
dari dunia ini menguasi suatu
bangsa yang dulu pernah begitu
perkas, sehingga dapat
mengalahkan Kublai Khan yang
kuat itu?” Sukarno terus dan terus
berkata-kata, dan mengakhirinya
dengan, “Saya berpendapat,
bahwa yang pertama-tama harus
kita kuasi adalah bahasa kita
sendiri. Marilah kita bersatu
sekarang untuk mengembangkan
bahasa Melayu. Kemudian baru
menguasai bahasa asing. Dan
sebaiknya kita mengambil bahasa
Inggris, oleh karena bahasa itu
sekarang menjadi bahasa
diplomatik.”
Tidak berhenti sampai di situ, ia
menyeru, “Belanda berkulit putih.
Kita sawomatang. Rambut mereka
pirang dan keriting. Kita punya
lurus dan hitam. Mereka tinggal
ribuan kilometer dari sini.
Mengapa kita harus berbicara
bahasa Belanda?!”
Suasana Studieclub heboh, gaduh
karena belum pernah mendengar
orasi seperti itu sebelumnya. Di
sebuah pojok ruang, Direktur HBS,
Tuan Bot, berdiri tak berbuat apa
pun, melainkan memandang ke
arah Sukarno dengan tatapan
tajam… seolah menyuarakan kata,
“Oooh… Sukarno mau bikin
susah!”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar