Sabtu, 02 Maret 2013

Kisah Ir.Sikarno Menakhlukan 4 gadis Belanda

“Bung Karno sang penakluk”.
Itulah judul alternatif tulisan ini.
Atau… sempat pula kutulis judul
yang agak provokatif: “Bule-bule
Pacar Bung Karno”. Tapi akhirnya,
kuputuskan judul yang sekarang,
“Kisah Bung Karno Menaklukkan
Empat Noni Belanda”. Sekalipun ini
urusan cinta, tapi kata
“menaklukkan” terkesan lebih
heroik. Kesan yang melekat secara
otomatis ketika kita menyebut
namanya.
Ini adalah sepenggal pengalaman
hidup proklamator kita saat ia
duduk di bangku HBS (Hogere
Burger School), sebuah sekolah
lanjutan tingkat menengah pada
zaman Hindia Belanda untuk orang
Belanda, Eropa atau elite pribumi
dengan bahasa pengantar bahasa
Belanda. HBS setara dengan MULO
+ AMS atau SMP + SMA, namun
hanya 5 tahun. Di HBS Surabaya,
ketika itu, dari lebih 100 murid,
hanya 20 orang saja yang pribumi.
Pada waktu itu HBS hanya ada di
kota Surabaya, Semarang,
Bandung, Jakarta, dan Medan,
sedangkan AMS ada di kota
Jakarta, Bandung, Medan,
Yogyakarta, dan Surabaya. Begitu
sekelumit tentang HBS.
Nah… sebagai pemuda, Bung
Karno dalam penuturannya kepada
Cindy Adams, penulis biografinya,
menuturkan ihwal semangatnya
yang membara untuk bisa
menaklukkan noni-noni Belanda,
agar bisa menjadi pacarnya. Bukan
saja karena rasa penasarannya
sebagai laki-laki menaklukkan
gadis bangsa penjajah… lebih dari
itu, ia punya tujuan lain, yakni agar
cepat mahir berbahasa Belanda.
Sebagai pemuda yang mengaku
tampan selagi muda, Bung Karno
penuh percaya diri “mengejar”
gadis-gadis kulit putih. Dengan
kepandaian otaknya, dengan
penampilannya yang percaya diri,
serta dengan tampangnya yang
tampan, singkat kata Sukarno
muda mulai mendapatkan gadis-
gadis putih idamannya. Ia
mencatat, gadis bule HBS pertama
yang jadi kekasihnya bernama
Pauline Gobee, anak salah seorang
gurunya di HBS. Pauline dikisahkan
sebagai seorang gadis yang cantik,
dan Sukarno tergila-gila
kepadanya.
Kemudian, cinta Sukarno beralih ke
gadis putih lain bernama Laura.
Ooo… betapa Sukarno juga
memuja Laura. Tapi tak
berlangsung lama. Perburuan cinta
Sukarno, berhasil menangkap
seorang kekasih bule yang nomor
tiga. Mungkin Sukarno tidak benar-
benar mencintai. Buktinya, ia
sendiri lupa akan namanya. Yang ia
ingat, gadis itu dari keluarga Raat,
seorang Indo yang punya
beberapa putri cantik. Yang juga ia
ingat, rumah keluarga Raat adalah
berlawanan arah dengan rumah
yang ditinggali Sukarno. Sekalipun
begitu, selama berbulan-bulan
pacaran, Bung Karno rela tiap hari
jalan berputar arah hanya untuk
gadis pujaannya.
Nah, tambatan hati keempat
adalah seorang noni Belanda nan
cantik. Sukarno ingat betul
namanya: Mien Hessels. Seketika,
Mien Hessels mampu menutup
lembaran-lembar an indah
Sukarno muda bersama Pauline,
Laura dan juga putri keluarga Raat.
Mien Hessels telah menyihir
Sukarno menjadi gelap mata.
Sukarno memuja Mien Hessels
sebagai “kembang tulip berambut
kuning berpipi merah mawar”.
Kulitnya halus selembut kapas.
Rambut blondenya ikal mayang.
Pribadinya memesona. Sukarno
bahkan merasa rela mati untuk
mendapatkan gadis pujaannya.
Usia Sukarno 18 tahun, ketika itu.
Dan… Sukarno benar-benar nekad.
Suatu hari, ia menetapkan hati
melamar Mien Hessels.
Mengenakan busana terbaik,
bersepatu pula, Sukarno duduk di
kamar, melemaskan lidah,
menghafal kata, melatih bicara:
Melamar Mien Hessels menjadi
istrinya!
Sore yang cerah, Sukarno menuju
rumah Mien Hessels. Begitu
memasuki halaman rumahnya,
hatinya menggigil ketakutan.
Belum pernah sekali pun Sukarno
bertamu ke rumah orang Belanda
yang mewah. Halamannya
ditumbuhi rerumputan laksana
hamparan beludru hijau.
Kembang-kembang aneka warna
berdiri tegak baris demi baris.
Sementara, Sukarno tak punya topi
untuk dipegang. Karenanya, ia
hanya memegang hati, agar tak
gugup nanti.
Di hadapan seorang laki-laki tinggi
besar, ayah kekasih hatinya, Bung
Karno melepas kata, “Tuan… kalau
Tuan tidak keberatan, saya ingin
minta anak tuan….” Belum selesai
Sukarno muda bicara, ayah Hessels
melabraknya, “Kamu?! Inlander
kotor seperti kamu? Kenapa kamu
berani-berani mendekati anakku?!
Keluar kamu binatang kotor.
Keluar!!!”
Persis adegan sinetron konyol…
Sukarno angkat kaki dengan
perasaan seperti dicambuk, muka
dicoreng, hati terhina. Peristiwa
itu, melekat sepanjang hayat.
Tuhan sungguh mencintai
Sukarno. Waktu trus berlalu… 23
tahun sejak peristiwa
menyedihkan itu terjadi, tepatnya
tahun 1942. Perang Dunia II
tengah berkecamuk. Sukarno
sendiri sudah menjelma menjadi
tokoh pergerakan kemerdekaan
bagi bangsanya. Suatu sore, ketika
sedang berjalan-jalan di suatu
jalanan di Jakarta, ia mendengar
seorang wanita menyebut
namanya, “Sukarno?” Berpalinglah
Sukarno ke arah pemanggil seraya
menjawab, “Ya, saya Sukarno.”
Wanita itu tertawa terkikik-kikik,
“Dapat kau menerka siapa saya?”
Sukarno memandangi wanita
berbadan besar, jelek, tak
terpelihara. “Tidak, Nyonya… saya
tidak dapat menerka, siapakah
Nyonya?” Wanita itu kembali
tertawa terkikik-kikik sebelum
menjawab, “Mien Hessels!” dia
terkikik lagi.
Hati Sukarno menyeru, “Huhhh!!!
Mien Hessels! Putriku yang cantik
seperti bidadari, kini sudah
berubah menjadi perempuan mirip
tukang sihir, buruk dan kotor….”
Sadar ia melamun, buru-buru
Sukarno memberi salam kepada
mantan kekasihnya di Surabaya
dulu. Setelah itu, ia berpamit untuk
berlalu.
Sejurus kemudian, ketika
mengenang pertemuannya
dengan Mien Hessels, Bung Karno
mendesiskan rasa syukur kepada
Tuhan Yang Maha Penyayang. Hati
kecilnya berucap, “Caci maki yang
telah dilontarkan ayahnya dulu,
sesungguhnya suatu rahmat yang
tersembunyi….”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar